masukkan script iklan disini
“Siapa yang berani menginjakkan kaki di tanah terlarang ini?”
Rauman naga yang memekakkan telinga disertai sosoknya yang menakutkan, membekukan Hayate, bayangannya merayap layaknya ular di balik nyala lilin.
Rauman itu menimbulkan lebih dari sekedar getaran di udara. Aksara kuno mulai bermunculan di sekitar Hayate, berwarnakan putih menyala. Di saat itu juga, Hayate menyadari bahwa rencana yang sudah disiapkan sepuluh tahun akan berakhir sia-sia.
Hayate merupakan ninja dari Pulau Kabut. Semenjak dewasa, dia mengikuti ketua klannya, melindungi gerbang laut menuju Gunung Orphean. Hanya sedikit yang mengetahui keberadaan mereka, yang tentunya mempermudah usaha mereka untuk melindungi dunia dari kegelapan.
“Sudah terlalu banyak darah yang tumpah…” Seraya dia menyaksikan cangkulan tanah yang mulai menutupi peti jenazah ketua sebelumnya, benih ketidakpuasan mulai tumbuh di hati Hayate. Dia mulai meragukan tanggung jawab dan kewajiban yang diwarisi dari generasi ke generasi oleh para tetua, dan bahkan dari Kuil Cahaya sekalipun.
Baginya, pakta yang dibuat antara Dragon dan Kuil tak terasa adil — para ninja mewarisi darah dan kekuatan Naga demi melindungi kejayaan Kuil dengan nyawa mereka, namun sama sekali tak menerima imbalan apapun — bahkan rasa hormat.
Sang pelayan sudah muak dipandang sebelah mata oleh para dewa.
Sebagai pewaris darah Naga, walau tak langsung, Hayate tahu seberapa besar kekuatan Kuil. Aliansi Kerajaan Manusia yang sedang berlangsung, pihak Hutan Bayangan yang berjuang keras dalam peristiwa Invasi Kegelapan — tak satupun dari mereka yang mampu menandingi makhluk Demigod yang tinggal di gunung suci itu.
Ini bukanlah soal siapa yang kuat atau lemah, namun soal kodrat. Cahaya merupakan salah satu Kekuatan Asli yang membentuk, membimbing dan melindungi dunia sebelum para dewa menghilang. Kekuatan ini mewakili kehendak dunia, hukum dunia, sebuah perjanjian yang mengikat penghuni Pulau Kabut dengan pihak Kuil.
Kekuatan Asli hanya dapat dilawan oleh kekuatan yang setara. Hayate tak ayal harus bersekutu dengan pihak musuh, Abyss — tujuannya adalah untuk memisahkan Pulau Kabut dari Kuil, yang tentunya akan memperlemah pertahanan Kuil, yang sejalan dengan kepentingan Abyss.
Berbekal penguatan diri berkat ramuan voodoo buatan Mganga serta sihir terlarang dari Abyss, Hayate berhasil melalui segel sihir yang menjaga kuil kuno dan bergegas menuju Menara Naga tempat pakta disimpan. Sudah sepuluh tahun lamanya dia menyaksikan dan menunggu seraya saudara seperjuangannya tewas di hadapannya, menunggu peluang ini.
Satu langkah lagi.
Hayate dengan hati-hati mendekati lingkar sihir yang melindungi pakta. Dia membawa serta kuku iblis di sabuknya, yang dengan kekuatan kegelapannya mampu memutus ikatan antara pakta dan Kuil. Namun, itu hanyalah langkah akhir dari perjalanan yang penuh bahaya. Mengambil langkah total sebanyak seratus langkah, Hayate harus menonaktifkan tiga puluh enam segel tersembunyi, masing-masing dibuat sedemikian rupa untuk mendeteksi dan mengusir penyusup dengan cara berbeda.
Hayate mampu menaklukkan semua hambatan dan tantangan memanfaatkan tipu daya layaknya ninja yang cakap. Namun, ada satu celah dalam rencananya. Dia bukanlah keturunan langsung dari darah Naga, yang menutupi ketidaksempurnaannya itu dengan ramuan voodoo dan sihir terlarang untuk memasuki Menara Naga. Seraya dinonaktifkannya segel terakhir, efek ramuan mulai menghilang, dan perubahan darah Hayate mulai memicu amarah Sang Naga.
Pihak Kuil pun menyadari kehadiran Hayate saat mantera peringatan menyala. Dalam sekejap, kuil itu dikelilingi ninja. Namun Hayate tak akan menyerah semudah itu. Dia masih memiliki kuku iblis – satu-satunya peluang untuk membalikkan keadaan.
Dengan ketetapan hati, Hayate bangkit, dan bahkan segel menara pun tak sanggup menghalanginya. Rasa sakit yang menusuk telapak tangannya disertai kekuatan kegelapan yang membara semakin melecut semangatnya.
“Di malam ini, aku mempersembahkan darahku atas nama kegelapan, hingga memecah dan memutus dan memencar cahaya ke dalam ketiadaan.”
Memfokuskan kegelapan di ujung jarinya, Hayate menghunus pakta. Naga yang bersemayam di dalamnya berteriak seraya kegelapan menusuk jiwanya.
Namun, ada sebuah cahaya suci yang ditembakkan ke langit sebelum Hayate mampu melancarkan sentuhan akhir. Xeniel turun dari langit dengan enam sayap yang terbentang di punggungnya, berlapiskan zirah suci dan bersenjatakan palu.
Usaha terakhirnya digagalkan oleh kehadiran Xeniel yang tepat waktu, dan Hayate mampu menyelamatkan diri berkat rencana yang dibuat Mganga jauh sebelum rencananya dijalankan.
“Jadi, kau sudah menduga bahwa aku akan gagal?” kata Hayate dengan getir.
“Berharap yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk, sesederhana itu,” sahut Mganga.
“Tapi kau tahu aku tak akan bergabung dengan kalian. Yang aku inginkan hanyalah membebaskan Pulau Kabut dari perang yang menjelang. Aku gagal mendapatkan Darah Naga yang kujanjikan, selamanya… aku tak ada gunanya untuk kalian, atau siapapun itu.”
“Ratu memerintahkan untuk membawamu hidup-hidup. Bukan wewenangku untuk mengungkapkan rencananya, tapi tak usah khawatir – sebotol air mungkin tak ada artinya saat kau ada di sungai, namun keberadaannya sangat berharga saat kau ada di gurun. Kau tak bisa menghakimi diri semudah itu.”
“Baiklah… jika Ratumu dapat membantuku mencapai tujuanku, maka bisa saja suatu saat aku bersedia bersekutu dengannya… untuk saat ini, sekutuku hanyalah Pulau Kabut, saudara-saudaraku, walaupun mereka menganggapku sebagai pengkhianat!”
Hayate menutup matanya dan memulai meditasi rutinnnya. Dia tahu dia harus memulihkan kekuatan secepat mungkin, demi menghadapi tantangan yang menghadang.
“Butuh kegigihan besar untuk mencapai tujuan besar.”
Rauman naga yang memekakkan telinga disertai sosoknya yang menakutkan, membekukan Hayate, bayangannya merayap layaknya ular di balik nyala lilin.
Rauman itu menimbulkan lebih dari sekedar getaran di udara. Aksara kuno mulai bermunculan di sekitar Hayate, berwarnakan putih menyala. Di saat itu juga, Hayate menyadari bahwa rencana yang sudah disiapkan sepuluh tahun akan berakhir sia-sia.
Hayate merupakan ninja dari Pulau Kabut. Semenjak dewasa, dia mengikuti ketua klannya, melindungi gerbang laut menuju Gunung Orphean. Hanya sedikit yang mengetahui keberadaan mereka, yang tentunya mempermudah usaha mereka untuk melindungi dunia dari kegelapan.
“Sudah terlalu banyak darah yang tumpah…” Seraya dia menyaksikan cangkulan tanah yang mulai menutupi peti jenazah ketua sebelumnya, benih ketidakpuasan mulai tumbuh di hati Hayate. Dia mulai meragukan tanggung jawab dan kewajiban yang diwarisi dari generasi ke generasi oleh para tetua, dan bahkan dari Kuil Cahaya sekalipun.
Baginya, pakta yang dibuat antara Dragon dan Kuil tak terasa adil — para ninja mewarisi darah dan kekuatan Naga demi melindungi kejayaan Kuil dengan nyawa mereka, namun sama sekali tak menerima imbalan apapun — bahkan rasa hormat.
Sang pelayan sudah muak dipandang sebelah mata oleh para dewa.
Sebagai pewaris darah Naga, walau tak langsung, Hayate tahu seberapa besar kekuatan Kuil. Aliansi Kerajaan Manusia yang sedang berlangsung, pihak Hutan Bayangan yang berjuang keras dalam peristiwa Invasi Kegelapan — tak satupun dari mereka yang mampu menandingi makhluk Demigod yang tinggal di gunung suci itu.
Ini bukanlah soal siapa yang kuat atau lemah, namun soal kodrat. Cahaya merupakan salah satu Kekuatan Asli yang membentuk, membimbing dan melindungi dunia sebelum para dewa menghilang. Kekuatan ini mewakili kehendak dunia, hukum dunia, sebuah perjanjian yang mengikat penghuni Pulau Kabut dengan pihak Kuil.
Kekuatan Asli hanya dapat dilawan oleh kekuatan yang setara. Hayate tak ayal harus bersekutu dengan pihak musuh, Abyss — tujuannya adalah untuk memisahkan Pulau Kabut dari Kuil, yang tentunya akan memperlemah pertahanan Kuil, yang sejalan dengan kepentingan Abyss.
Berbekal penguatan diri berkat ramuan voodoo buatan Mganga serta sihir terlarang dari Abyss, Hayate berhasil melalui segel sihir yang menjaga kuil kuno dan bergegas menuju Menara Naga tempat pakta disimpan. Sudah sepuluh tahun lamanya dia menyaksikan dan menunggu seraya saudara seperjuangannya tewas di hadapannya, menunggu peluang ini.
Satu langkah lagi.
Hayate dengan hati-hati mendekati lingkar sihir yang melindungi pakta. Dia membawa serta kuku iblis di sabuknya, yang dengan kekuatan kegelapannya mampu memutus ikatan antara pakta dan Kuil. Namun, itu hanyalah langkah akhir dari perjalanan yang penuh bahaya. Mengambil langkah total sebanyak seratus langkah, Hayate harus menonaktifkan tiga puluh enam segel tersembunyi, masing-masing dibuat sedemikian rupa untuk mendeteksi dan mengusir penyusup dengan cara berbeda.
Hayate mampu menaklukkan semua hambatan dan tantangan memanfaatkan tipu daya layaknya ninja yang cakap. Namun, ada satu celah dalam rencananya. Dia bukanlah keturunan langsung dari darah Naga, yang menutupi ketidaksempurnaannya itu dengan ramuan voodoo dan sihir terlarang untuk memasuki Menara Naga. Seraya dinonaktifkannya segel terakhir, efek ramuan mulai menghilang, dan perubahan darah Hayate mulai memicu amarah Sang Naga.
Pihak Kuil pun menyadari kehadiran Hayate saat mantera peringatan menyala. Dalam sekejap, kuil itu dikelilingi ninja. Namun Hayate tak akan menyerah semudah itu. Dia masih memiliki kuku iblis – satu-satunya peluang untuk membalikkan keadaan.
Dengan ketetapan hati, Hayate bangkit, dan bahkan segel menara pun tak sanggup menghalanginya. Rasa sakit yang menusuk telapak tangannya disertai kekuatan kegelapan yang membara semakin melecut semangatnya.
“Di malam ini, aku mempersembahkan darahku atas nama kegelapan, hingga memecah dan memutus dan memencar cahaya ke dalam ketiadaan.”
Memfokuskan kegelapan di ujung jarinya, Hayate menghunus pakta. Naga yang bersemayam di dalamnya berteriak seraya kegelapan menusuk jiwanya.
Namun, ada sebuah cahaya suci yang ditembakkan ke langit sebelum Hayate mampu melancarkan sentuhan akhir. Xeniel turun dari langit dengan enam sayap yang terbentang di punggungnya, berlapiskan zirah suci dan bersenjatakan palu.
Usaha terakhirnya digagalkan oleh kehadiran Xeniel yang tepat waktu, dan Hayate mampu menyelamatkan diri berkat rencana yang dibuat Mganga jauh sebelum rencananya dijalankan.
“Jadi, kau sudah menduga bahwa aku akan gagal?” kata Hayate dengan getir.
“Berharap yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk, sesederhana itu,” sahut Mganga.
“Tapi kau tahu aku tak akan bergabung dengan kalian. Yang aku inginkan hanyalah membebaskan Pulau Kabut dari perang yang menjelang. Aku gagal mendapatkan Darah Naga yang kujanjikan, selamanya… aku tak ada gunanya untuk kalian, atau siapapun itu.”
“Ratu memerintahkan untuk membawamu hidup-hidup. Bukan wewenangku untuk mengungkapkan rencananya, tapi tak usah khawatir – sebotol air mungkin tak ada artinya saat kau ada di sungai, namun keberadaannya sangat berharga saat kau ada di gurun. Kau tak bisa menghakimi diri semudah itu.”
“Baiklah… jika Ratumu dapat membantuku mencapai tujuanku, maka bisa saja suatu saat aku bersedia bersekutu dengannya… untuk saat ini, sekutuku hanyalah Pulau Kabut, saudara-saudaraku, walaupun mereka menganggapku sebagai pengkhianat!”
Hayate menutup matanya dan memulai meditasi rutinnnya. Dia tahu dia harus memulihkan kekuatan secepat mungkin, demi menghadapi tantangan yang menghadang.
“Butuh kegigihan besar untuk mencapai tujuan besar.”